UNTUK BAPAK
Pemeran :
1.
Sri : Sebagai ibu
2.
Rusdi : Sebagai bapak
3.
Ana : Sebagai anak sulung
4.
Agus : Sebagai anak kedua
5.
Yanti
: Sebagai anak ketiga
Figuran :
Bidan, Penjaga Toko, Sopir, dan Dokter.
Suasana panggung menggambarkan
sebuah kamar bersalin sederhana milik seorang bidan desa. Dikamar itu Sri
tengah berusaha sekuat tenaga untuk melahirkan anak ketiganya. Suaminya, Rusdi,
mendampinginya disisi ranjang, sementara
si bidan desa membantu persalinannya.
Bidan : “Ambil nafas, Bu !”
Sri : (Terlihat kelelahan dengan
tubuh basah oleh peluh)
Rusdi : “Bertahanlah, Bu! Anak kita
hampir lahir !” (Memegangi tangan Sri)
Sri : (Berusaha mengumpulkan
tenaga dan kembali menarik nafas)
Bidan : “Iya, Bagus ! Begitu, Bu !”
(Bersemangat karena sang jabang bayi telah
keluar
) “Selamat, Pak! Anak bapak ibu perempuan.”
Terdengar suara tangisan bayi yang
melengking-lengking. Si Bidan segera memandikan si bayi dan membawa si bayi
kembali kekamar Sri. Wajah bidan itu sedikit tegang dan sedih ketika menyerahkan
bayi itu kepada Rusdi.
Rusdi : (Terlihat senang menyambut si
bayi)
Bidan : (Dengan ragu-ragu menyerahkan
bayi itu kepada Rusdi)
Sri : “Bu Bidan, ada apa? Kenapa
wajah Bu Bidan tegang seperti itu?”
Rusdi : (Terus menimang-nimang putrinya
dan tidak menyadari ekspresi wajah sang
bidan)
Bidan : “Saya tidak apa-apa,Bu. Hanya
saja .....”
Sri : (tiba-tiba khawatir dan
memotong kalimat) “Ada apa,Bu?”
Bidan : “Hanya saja putri ibu kurang
beruntung, dia terlahir dengan kondisi tangan
kirinya
tidak tumbuh sempurna.”
Rusdi : (Mendongakkan wajah tidak
percaya pada ucapan si bidan)
Sri : “Apa, Bu? Ini tidak
mungkin, Bu!” (Berteriak histeris)
Rusdi : (Melepas bedong bayi yang
membalut tubuh putrinya dengan paksa, dan
menatap
tidak percaya pada lengan kiri putrinya)
“Tidak
! ini tidak mungkin ! dia bukan anakku, anakku tidak ada yang cacat!”
@@@
Sepuluh tahun kemudian
.....
Suasana panggung menggambarkan
sebuah ruang keluarga yang didalamnya terdapat satu set kursi keluarga dan
sebuah TV 14`` diatas meja kecil kuno. Sri, Rusdi, dan Ana si putri sulung
tengah berkumpul diruang itu. mereka terlibat dalam pembicaraan yang hangat.
Ana : “Bu, tadi pagi pak kepala
sekolah memanggilku, katanya aku lolos tes
beasiswa
kuliah di UGM!”
Sri : (Terkejut senang dan
mengelus rambut putrinya) “Alhamdulilah,Nak!”
Rusdi : (Tertawa bangga) “Hahaha, anak
bapak memang hebat!”
Agus, putra kedua
mereka tiba-tiba masuk keruang tengah dengan bersemangat.
Agus : “Pak, Bu, coba lihat Agus bawa
apa?” (Menunjukkan sebuah surat)
Rusdi : (Mengambil surat itu dan
menarik isinya keluar)
Sri : (Penasaran) “Ayo pak,
cepak dibaca isinya apa?”
Rusdi : (Tertawa bangga) “Agus lolos
seleksi olimpiade fisika tingkat provinsi,Bu!”
Sri : “Alhamdulilah, semoga
olimpiademu sukses,Nak!”
Agus : “Aamiin..!”
Mendengar pembicaraan
seru diruang keluarga, Yanti, si putri bungsu yang cacat keluar kamar dan ikut
bergabung diruang keluarga.
Yanti : “Wah... Ada apa ini? kok
sepertinya ada kabar bahagia?” (Hendak duduk )
Rusdi : “Heh.. anak cacat kenapa kau
kemari? Merusak suasana saja! Pergi kau!”
Yanti : (Tertegun sejenak mendengar
ucapan Rusdi dan hendak pergi)
Sri : “Pak, jangan seperti itu !
Yanti kan juga anak kita. Sampai kapan bapak
akan
bersikap seperti ini?” (Mulai menitikkan air mata)
Ana : “Halah, apa sih,Bu? Bapak
benar menyuruh Yanti pergi. Karena kalau tidak
bisa-bisa
dia membawa sial untuk kita semua.”
Yanti : (Meremas-remas ujung bajunya
dengan gelisah)
Agus : “Haha, untuk apa ibu membela si
cacat ini? dia tidak berguna,Bu!”
Yanti : (Tak kuasa melihat ibunya
beradu mulut dan memutuskan untuk kembali
ke
kamarnya)
Sri : (Masih terus terisak dan
beranjak pergi menyusul Yanti kekamarnya)
Yanti : (Duduk ditepi tempat tidur kamarnya
mengamati kalender yang terpasang
didinding
kamarnya yang sempit)
Sri : (Masuk kekamar Yanti dan
duduk didekat Yanti) “Nak, Apa kamu marah?”
Yanti : (Tersenyum samar) “Tidak, Bu,
Yanti tidak marah.”
Sri : (Menyusut air mata yang
mulai mengalir) “Maafkan bapakmu ya, Nak?”
Yanti : (Memandang Sri sejenak) “Untuk
apa,Bu? Bapak tidak salah,Bu.”
Sri : (Mendekat ke Yanti
mengelus rambutnya pelan)
Yanti : “Bapak benar, Yanti anak cacat,
kehadiran Yanti memang membuat suasana
tidak
nyaman.”
Sri : (Semakin terisak)
Yanti : (Mencoba megalihkan
pembicaraan) “Bu, coba lihat kalender itu !”
Sri : “Ada apa,Nak?” (Melihat
kalender didinding kamar)
Yanti : (Berkata riang) “ Besok bapak
ulang tahun,Buk! “ (Tiba-tiba
cemberut)
“Tapi Yanti bingung akan memberi kado apa?”
Sri : (Tersenyum lembut) “Kalo
yang ini ibu tidak bisa bantu, Kamu harus
mencari
sendiri kado untuk bapak.” (Kembali mengusap rambut Yanti dan beranjak keluar
kamar)
Yanti : (Memejamkan mata berpikir
sesuatu sejenak lalu tersenyum simpul) “Aha!
aku
punya ide!”
@@@
Panggung menggambarkan suasana
siang hari dengan matahari yang bersinar terik dan latar tempat berupa deretan
toko dipasar yang berjajar didepan jalan raya yang ramai oleh lalu lalang
kendaraan.
Yanti :
(Berjalan menyusuri deretan toko dan memasuki sebuah toko alat ibadah)
Penjaga toko :
(Mengamati Yanti dan heran ada anak kecil berseragam SD datang ke
tokonya) “Mau cari apa,Dek? Mukena?
Sarung? Atau yang lain?”
Yanti :
(Agak ragu untuk menjawab) “Mmm, saya sedang mencari sarung, tapi...”
Pejaga Toko :
“Ada apa,Dek?”
Yanti :
(Berkata dengan sedikit gugup) “Saya ingin membeli sarung untuk kado
ulang tahun bapak saya, tapi saya
tidak tahu apakah uang saya cukup atau tidak?”
Penjaga Toko :
(Tersenyum ramah) “Memangnya berapa uang kamu anak manis?”
Yanti :
(Mengeluarkan celengan plastik berbentuk ayam dari dalam tasnya) “Aku
belum menghitungnya. Uangku semua
ada disini! Aku menabungnya sejak 3 bulan yang lalu.” (Menyerahkan celengan itu
pada penjaga toko)
Penjaga Toko : (Menerima celengan itu dan kembali
tersenyum ramah lantas berjalan
kederetan rak yang menyimpan
sarung)
Yanti :
(Menatap penjaga toko bingung)
Penjaga Toko :
“Anak manis, ini sarung untuk kado bapak kamu dan ini celengan kamu.”
(Menyerahkan sarung dan celengan
ayam Yanti)
Yanti :
(Semakin bingung) “Kenapa celenganku anda kembalika?”
Penjaga Toko :
(Tersenyum) “Karena kamu anak yang baik, aku memberikan sarung itu
untukmu. Jadi kamu tidak perlu
membayarnya. Uang celenganmu bisa kamu simpan.”
Yanti :
(Menggeleng cepat) “Tidak, aku tetap akan membayar sarung ini. Aku ingin
membeli sarung ini dengan
tabunganku.” (Menyerahkan celengannya kepada penjaga toko dan segera bergegas
pergi)
Setelah keluar dari toko itu, Yanti
berjalan menyusuri deretan toko yang memanjang. Dia berhenti sejenak disebuah bangku
di emperan toko. Tangannya sibuk mengeluarkan secarik surat yang telah
disiapkannya sejak semalam dari dalam tasnya. Belum puas, tanganya kembali
mengaduk-aduk isi tasnya dan menarik selembar kertas kado. Selanjutnya tangan
mungil Yanti sibuk membungkus kado sebaik yang dia bisa. tak lupa dia selipkan
secarik surat untuk ayahnya dalam bungkusan itu. Setelah puas Yanti memasukkan
seluruh perlengkapannya dan beranjak pergi.
Yanti :
(Menyeberang jalan raya tanpa menengok kekiri dan kekanan)
Pemuda :
(Terkejut, menekan bel motornya) “Awas, Deeekkk!!!”
Brakk !!
Si pemuda menyerempet tubuh Yanti hingga terlempar
cukup jauh. Yanti tak sadarkan diri.
@@@
Suasana panggung menggambarkan
lorong rumah sakit didepan kamar UGD. Sri menangis tergugu dikursi tunggu.
Rusdi, Ana, dan Agus hanya diam. Tidak ada sepatah kata pun yang terlontar dari
mulut ketiganya. Meskipun terlihat acuh tak acuh sebenarnya hati mereka gusar.
Mereka bertiga tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
Dokter : (Keluar ruang UGD dengan ekspresi
tegang)
Sri : (Menghampiri dokter)
“Bagaimana keadaan putri saya,Dok?”
Dokter : “Putri ibu sudah siuman, dia
sekarang kami pindahkan ke ICU. sampai saat
ini
dia terus menyebut-nyebut bapaknya.”
Sri : (Tertegun) “Apa saya boleh
melihatnya,Dok?”
Dokter : “Sebaiknya bapaknya dulu yang
masuk, sebab putri ibu terus mencarinya.”
Rusdi : (Melangkah masuk keruang ICU
dengan ragu)
(Mengamati
kondisi Yanti dan mendekat ketempat Yanti terbaring)
Yanti : “Bapak? Bapak disini?”
Rusdi : (Memandang Yanti kikuk)
Yanti : (Tersenyum samar dan mulai
merasakan nafasnya sesak)
Rusdi : (Bingung)
Yanti : (Nafasnya kian sesak dan
memburu) “Ba.. pak.. sela..matt uull..lang .. ta.. ta..
hunn..
semm ..oogga.. bap.. bappakk pan..jangg uu.. ummur” (Nafasnya melemah dan
matanya terlelap perlahan)
Rusdi : (Menitikkan air mata dan
mengusap pelan wajah Yanti)
(Berjalan
keluar kamar ICU dan mengabarkan kondisi Yanti pada Sri)
Sri : (Terduduk lemas dilantai)
“Yanti.. Kenapa harus secepat ini,Nak? Maafkan
ibu
yang belum bisa membahagiakanmu, Nak!”
Rusdi : (Memegangi bahu Sri, menyesali
perlakuannya kepada Yanti selama ini)
Ana : (Terisak mengingat yanti)
Agus : (Menenggelamkan mukanya pada
kedua telapak tangannya)
@@@
Satu minggu
kemudian....
Rusdi dan Sri tengah duduk diruang
tamu rumahnya. Matanya menerawang kehalaman rumahnya yang rindang oleh pohon
sawo dan sebuah ayunan ban sederhana tergantung disalah satu batangnya yang kuat.
Ayunan itu terlihat sepi. Biasanya Yanti selalu duduk disanan memainkan
bonekanya yang lusuh.
Rusdi :
(Menghela nafas berat mengingat Yanti, matanya mengedarkan pandangan
keseluruh sisi ruang tamu dan
berhenti pada meja kecil disudut ruangan)
Sri :
“Ada apa, Pak?”
Rusdi :
“Apa itu tas Yanti,Bu?” (Mendekat kemeje dan mengambil tas Yanti)
Sri :
“Iya, pak, itu tas sekolah Yanti.”
Rusdi :
(Membuka tas Yanti dan mengeluarkan bungkusan kresek hitam didalamnya)
Sri :
“Apa itu,Pak?”
Rusdi :
“Sepertinya sebuah kado.” (Membuka selotip pembungkus kado)
Sri :
(Teringat Yanti yang ingin membelikan kado Rusdi) “Apa isinya,Pak?”
Rusdi :
“Sebuah sarung dan secarik surat,Bu!”
Sri :
(Kembali terisak dan menyusut air matanya perlahan) “Baca suratnya,pak!”
Rusdi :
(Gemetar membuka surat) “Bapak, maafin Yanti,ya? Yanti tau Yanti bukan
anak yang sempurna. Yanti anak yang
tidak pernah membahagiakan bapak. Yanti anak yang nakal. Tapi, Yanti tidak
pernah membenci bapak. Yanti sayang bapak. Yanti pengen bisa membuat bapak
bahagia. Meskipun itu Cuma sekali. Selamat ulang tahun bapak. Yanti berdo`a
pada Allah semoga bapak diberi umur panjang dan kesehatan. Aamiin.” (Menutup
surat Yanti dan mendekapnya erat)
==
TAMAT ==
Tidak ada komentar:
Posting Komentar