Senin, 15 Februari 2016

Contoh Teks Drama : Untuk Bapak

UNTUK BAPAK
Pemeran :
1.      Sri                    : Sebagai ibu
2.      Rusdi               : Sebagai bapak
3.      Ana                 : Sebagai anak sulung
4.      Agus                : Sebagai anak kedua
5.      Yanti               : Sebagai anak ketiga
Figuran :
Bidan, Penjaga Toko, Sopir, dan Dokter.
Suasana panggung menggambarkan sebuah kamar bersalin sederhana milik seorang bidan desa. Dikamar itu Sri tengah berusaha sekuat tenaga untuk melahirkan anak ketiganya. Suaminya, Rusdi,  mendampinginya disisi ranjang, sementara si bidan desa membantu persalinannya.
Bidan              : “Ambil nafas, Bu !”
Sri                    : (Terlihat kelelahan dengan tubuh basah oleh peluh)
Rusdi               : “Bertahanlah, Bu! Anak kita hampir lahir !” (Memegangi tangan Sri)
Sri                    : (Berusaha mengumpulkan tenaga dan kembali menarik nafas)
Bidan              : “Iya, Bagus ! Begitu, Bu !” (Bersemangat karena sang jabang bayi telah
keluar ) “Selamat, Pak! Anak bapak ibu perempuan.”
Terdengar suara tangisan bayi yang melengking-lengking. Si Bidan segera memandikan si bayi dan membawa si bayi kembali kekamar Sri. Wajah bidan itu sedikit tegang dan sedih ketika menyerahkan bayi itu kepada Rusdi.
Rusdi               : (Terlihat senang menyambut si bayi)
Bidan              : (Dengan ragu-ragu menyerahkan bayi itu kepada Rusdi)
Sri                    : “Bu Bidan, ada apa? Kenapa wajah Bu Bidan tegang seperti itu?”
Rusdi               : (Terus menimang-nimang putrinya dan tidak menyadari ekspresi wajah sang
bidan)
Bidan              : “Saya tidak apa-apa,Bu. Hanya saja .....”
Sri                    : (tiba-tiba khawatir dan memotong kalimat) “Ada apa,Bu?”
Bidan              : “Hanya saja putri ibu kurang beruntung, dia terlahir dengan kondisi tangan
kirinya tidak tumbuh sempurna.”
Rusdi               : (Mendongakkan wajah tidak percaya pada ucapan si bidan)
Sri                    : “Apa, Bu? Ini tidak mungkin, Bu!” (Berteriak histeris)
Rusdi               : (Melepas bedong bayi yang membalut tubuh putrinya dengan paksa, dan
menatap tidak percaya pada lengan kiri putrinya)
“Tidak ! ini tidak mungkin ! dia bukan anakku, anakku tidak ada yang cacat!”
Sri                    : (Semakin terisak mendengar ucapan suaminya)
@@@
Sepuluh tahun kemudian .....
Suasana panggung menggambarkan sebuah ruang keluarga yang didalamnya terdapat satu set kursi keluarga dan sebuah TV 14`` diatas meja kecil kuno. Sri, Rusdi, dan Ana si putri sulung tengah berkumpul diruang itu. mereka terlibat dalam pembicaraan yang hangat.
Ana                 : “Bu, tadi pagi pak kepala sekolah memanggilku, katanya aku lolos tes
beasiswa kuliah di UGM!”
Sri                    : (Terkejut senang dan mengelus rambut putrinya) “Alhamdulilah,Nak!”
Rusdi               : (Tertawa bangga) “Hahaha, anak bapak memang hebat!”
Agus, putra kedua mereka tiba-tiba masuk keruang tengah dengan bersemangat.
Agus                : “Pak, Bu, coba lihat Agus bawa apa?” (Menunjukkan sebuah surat)
Rusdi               : (Mengambil surat itu dan menarik isinya keluar)
Sri                    : (Penasaran) “Ayo pak, cepak dibaca isinya apa?”
Rusdi               : (Tertawa bangga) “Agus lolos seleksi olimpiade fisika tingkat provinsi,Bu!”
Sri                    : “Alhamdulilah, semoga olimpiademu sukses,Nak!”
Agus                : “Aamiin..!”
Mendengar pembicaraan seru diruang keluarga, Yanti, si putri bungsu yang cacat keluar kamar dan ikut bergabung diruang keluarga.
Yanti               : “Wah... Ada apa ini? kok sepertinya ada kabar bahagia?” (Hendak duduk )
Rusdi               : “Heh.. anak cacat kenapa kau kemari? Merusak suasana saja! Pergi kau!”
Yanti               : (Tertegun sejenak mendengar ucapan Rusdi dan hendak pergi)
Sri                    : “Pak, jangan seperti itu ! Yanti kan juga anak kita. Sampai kapan bapak
akan bersikap seperti ini?” (Mulai menitikkan air mata)
Ana                 : “Halah, apa sih,Bu? Bapak benar menyuruh Yanti pergi. Karena kalau tidak
bisa-bisa dia membawa sial untuk kita semua.”
Yanti               : (Meremas-remas ujung bajunya dengan gelisah)
Agus                : “Haha, untuk apa ibu membela si cacat ini? dia tidak berguna,Bu!”
Yanti               : (Tak kuasa melihat ibunya beradu mulut dan memutuskan untuk kembali
ke kamarnya)
Sri                    : (Masih terus terisak dan beranjak pergi menyusul Yanti kekamarnya)
Yanti               : (Duduk ditepi tempat tidur kamarnya mengamati kalender yang terpasang
didinding kamarnya yang sempit)
Sri                    : (Masuk kekamar Yanti dan duduk didekat Yanti) “Nak, Apa kamu marah?”
Yanti               : (Tersenyum samar) “Tidak, Bu, Yanti tidak marah.”
Sri                    : (Menyusut air mata yang mulai mengalir) “Maafkan bapakmu ya, Nak?”
Yanti               : (Memandang Sri sejenak) “Untuk apa,Bu? Bapak tidak salah,Bu.”
Sri                    : (Mendekat ke Yanti mengelus rambutnya pelan)
Yanti               : “Bapak benar, Yanti anak cacat, kehadiran Yanti memang membuat suasana
tidak nyaman.”
Sri                    : (Semakin terisak)
Yanti               : (Mencoba megalihkan pembicaraan) “Bu, coba lihat kalender itu !”
Sri                    : “Ada apa,Nak?” (Melihat kalender didinding kamar)
Yanti               : (Berkata riang) “ Besok bapak ulang tahun,Buk! “ (Tiba-tiba
cemberut) “Tapi Yanti bingung akan memberi kado apa?”
Sri                    : (Tersenyum lembut) “Kalo yang ini ibu tidak bisa bantu, Kamu harus
mencari sendiri kado untuk bapak.” (Kembali mengusap rambut Yanti dan beranjak keluar kamar)
Yanti               : (Memejamkan mata berpikir sesuatu sejenak lalu tersenyum simpul) “Aha!
aku punya ide!”
@@@
Panggung menggambarkan suasana siang hari dengan matahari yang bersinar terik dan latar tempat berupa deretan toko dipasar yang berjajar didepan jalan raya yang ramai oleh lalu lalang kendaraan.
Yanti               : (Berjalan menyusuri deretan toko dan memasuki sebuah toko alat ibadah)
Penjaga toko   : (Mengamati Yanti dan heran ada anak kecil berseragam SD datang ke
tokonya) “Mau cari apa,Dek? Mukena? Sarung? Atau yang lain?”
Yanti               : (Agak ragu untuk menjawab) “Mmm, saya sedang mencari sarung, tapi...”
Pejaga Toko    : “Ada apa,Dek?”
Yanti               : (Berkata dengan sedikit gugup) “Saya ingin membeli sarung untuk kado
ulang tahun bapak saya, tapi saya tidak tahu apakah uang saya cukup atau tidak?”
Penjaga Toko  : (Tersenyum ramah) “Memangnya berapa uang kamu anak manis?”
Yanti               : (Mengeluarkan celengan plastik berbentuk ayam dari dalam tasnya) “Aku
belum menghitungnya. Uangku semua ada disini! Aku menabungnya sejak 3 bulan yang lalu.” (Menyerahkan celengan itu pada penjaga toko)
Penjaga Toko : (Menerima celengan itu dan kembali tersenyum ramah lantas berjalan
kederetan rak yang menyimpan sarung)
Yanti               : (Menatap penjaga toko bingung)
Penjaga Toko  : “Anak manis, ini sarung untuk kado bapak kamu dan ini celengan kamu.”
(Menyerahkan sarung dan celengan ayam Yanti)
Yanti               : (Semakin bingung) “Kenapa celenganku anda kembalika?”
Penjaga Toko  : (Tersenyum) “Karena kamu anak yang baik, aku memberikan sarung itu
untukmu. Jadi kamu tidak perlu membayarnya. Uang celenganmu bisa kamu simpan.”
Yanti               : (Menggeleng cepat) “Tidak, aku tetap akan membayar sarung ini. Aku ingin
membeli sarung ini dengan tabunganku.” (Menyerahkan celengannya kepada penjaga toko dan segera bergegas pergi)
Setelah keluar dari toko itu, Yanti berjalan menyusuri deretan toko yang memanjang. Dia berhenti sejenak disebuah bangku di emperan toko. Tangannya sibuk mengeluarkan secarik surat yang telah disiapkannya sejak semalam dari dalam tasnya. Belum puas, tanganya kembali mengaduk-aduk isi tasnya dan menarik selembar kertas kado. Selanjutnya tangan mungil Yanti sibuk membungkus kado sebaik yang dia bisa. tak lupa dia selipkan secarik surat untuk ayahnya dalam bungkusan itu. Setelah puas Yanti memasukkan seluruh perlengkapannya dan beranjak pergi.
Yanti               : (Menyeberang jalan raya tanpa menengok kekiri dan kekanan)
Pemuda           : (Terkejut, menekan bel motornya) “Awas, Deeekkk!!!”
Brakk !!
Si pemuda menyerempet tubuh Yanti hingga terlempar cukup jauh. Yanti tak sadarkan diri.
@@@
Suasana panggung menggambarkan lorong rumah sakit didepan kamar UGD. Sri menangis tergugu dikursi tunggu. Rusdi, Ana, dan Agus hanya diam. Tidak ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulut ketiganya. Meskipun terlihat acuh tak acuh sebenarnya hati mereka gusar. Mereka bertiga tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
Dokter             : (Keluar ruang UGD dengan ekspresi tegang)
Sri                    : (Menghampiri dokter) “Bagaimana keadaan putri saya,Dok?”
Dokter             : “Putri ibu sudah siuman, dia sekarang kami pindahkan ke ICU. sampai saat
ini dia terus menyebut-nyebut bapaknya.”
Sri                    : (Tertegun) “Apa saya boleh melihatnya,Dok?”
Dokter             : “Sebaiknya bapaknya dulu yang masuk, sebab putri ibu terus mencarinya.”
Rusdi               : (Melangkah masuk keruang ICU dengan ragu)
(Mengamati kondisi Yanti dan mendekat ketempat Yanti terbaring)
Yanti               : “Bapak? Bapak disini?”
Rusdi               : (Memandang Yanti kikuk)
Yanti               : (Tersenyum samar dan mulai merasakan nafasnya sesak)
Rusdi               : (Bingung)
Yanti               : (Nafasnya kian sesak dan memburu) “Ba.. pak.. sela..matt uull..lang .. ta.. ta..
hunn.. semm ..oogga.. bap.. bappakk pan..jangg uu.. ummur” (Nafasnya melemah dan matanya terlelap perlahan)
Rusdi               : (Menitikkan air mata dan mengusap pelan wajah Yanti)
(Berjalan keluar kamar ICU dan mengabarkan kondisi Yanti pada Sri)
Sri                    : (Terduduk lemas dilantai) “Yanti.. Kenapa harus secepat ini,Nak? Maafkan
ibu yang belum bisa membahagiakanmu, Nak!”
Rusdi               : (Memegangi bahu Sri, menyesali perlakuannya kepada Yanti selama ini)
Ana                 : (Terisak mengingat yanti)
Agus                : (Menenggelamkan mukanya pada kedua telapak tangannya)
@@@
Satu minggu kemudian....
Rusdi dan Sri tengah duduk diruang tamu rumahnya. Matanya menerawang kehalaman rumahnya yang rindang oleh pohon sawo dan sebuah ayunan ban sederhana tergantung disalah satu batangnya yang kuat. Ayunan itu terlihat sepi. Biasanya Yanti selalu duduk disanan memainkan bonekanya yang lusuh.
Rusdi               : (Menghela nafas berat mengingat Yanti, matanya mengedarkan pandangan
keseluruh sisi ruang tamu dan berhenti pada meja kecil disudut ruangan)
Sri                    : “Ada apa, Pak?”
Rusdi               : “Apa itu tas Yanti,Bu?” (Mendekat kemeje dan mengambil tas Yanti)
Sri                    : “Iya, pak, itu tas sekolah Yanti.”
Rusdi               : (Membuka tas Yanti dan mengeluarkan bungkusan kresek hitam didalamnya)
Sri                    : “Apa itu,Pak?”
Rusdi               : “Sepertinya sebuah kado.” (Membuka selotip pembungkus kado)
Sri                    : (Teringat Yanti yang ingin membelikan kado Rusdi) “Apa isinya,Pak?”
Rusdi               : “Sebuah sarung dan secarik surat,Bu!”
Sri                    : (Kembali terisak dan menyusut air matanya perlahan) “Baca suratnya,pak!”
Rusdi               : (Gemetar membuka surat) “Bapak, maafin Yanti,ya? Yanti tau Yanti bukan
anak yang sempurna. Yanti anak yang tidak pernah membahagiakan bapak. Yanti anak yang nakal. Tapi, Yanti tidak pernah membenci bapak. Yanti sayang bapak. Yanti pengen bisa membuat bapak bahagia. Meskipun itu Cuma sekali. Selamat ulang tahun bapak. Yanti berdo`a pada Allah semoga bapak diberi umur panjang dan kesehatan. Aamiin.” (Menutup surat Yanti dan mendekapnya erat)

== TAMAT ==

Tidak ada komentar:

Posting Komentar